Sejarah Perkembangan Sastra Populer (Penjajahan Jepang)
SEJARAH
PERKEMBANGAN SASTRA POPULER PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG
Oleh :
Arif M. Rasyid
Pada masa penjajahan
jepang sastra cenderung mati, baik sastra populer maupun sastra adiluhung. Pada
masa tersebut, semua karya sastra mendapat sensor yang cukup ketat dari
pemerintah kolonial jepang (Pusat Kebudayaan/Keimin Bunka Shidoso). Karya
sastra yang banyak berkembang pada masa peralihan (masa penjajahan jepang) merupakan
sastra propaganda, yaitu karya yang ditujukan oleh jepang kepada rakyat
indonesia guna menarik simpati mereka terhadap pemerintahan kolonial jepang. Karya
seni dipercaya dapat bersentuhan langsung dengan empati dan perhatian pembaca.
Melalui karya seni, khususnya sastra, Jepang mengajak kaum pribumi untuk
membantu militer Jepang melawan Amerika dan Inggris dalam perang dunia II. Selain
itu, karya-karya seni itu juga menampilkan tema yang bermuara pada upaya
memompa semangat berperang dan semangat membantu perjuangan bangsa Asia melawan
bangsa Barat. Ungkapan-ungkapan, seperti “Asia untuk Asia”, atau “Membangun Asia”
menjadi acuan yang jelas bagi seniman dalam membuat karyanya. Kehadiran pusat
kebudayaan tersebut tentu saja mendorong balai pustaka menjadi pasif, balai
pustaka pada masa itu hanya menjadi pendukung percetakan semata tanpa bisa
menyensor karya-karya yang muncul pada masa itu.
Pada awalnya banyak
seniman yang mendukung pemerintah jepang, karena banyak seniman yang memandang
program pemerintah tersebut dapat mendukung kemakmuran mereka. Namun seiring
dengan berkembangnya waktu, para penyair dan seniman sadar dengan keadaan
tersebut dan mengubah cara pandang mereka terhadap jepang. Mereka melawan
jepang dengan karya sastra. Meskipun pada masa peralihan sastra (populer dan
adiluhung) sempat mati, bukan berarti pada masa peralihan tidak terdapat karya
sastra. Kebanyakan karya sastra yang berkembang pada masa peralihan ialah
drama. Selama masa pendudukan jepang, sumbangan besar pada perjalanan
kesusastraan dan kehidupan sandiwara di Indonesia adalah lahirnya karya sastra
drama yang jauh melebihi jumlah pada masa-masa sebelumnya dan maraknya grup
sandiwara yang membawakan cerita-cerita propaganda masa perang. Masa itu
dinilai sebagai masa yang penting juga untuk pemakaian bahasa Indonesia.
Pada masa itu lahirlah
beberapa seniman drama yang cukup terkenal, diantaranya Armijn Pane, Usmar
Ismail, Kotot Sukardi, Merayu Sukma, Idrus, dan Abu Hanifah. Sedangkan untuk
grup-grup sandiwara didirikan organisasi yang disebut Perserikatan Oesaha
Sandiwara di Djawa (POSD) yang berdiri
pada tahun 1942 di bawah pimpinan Hinatsu Eitaro alias Dr. Huyung. Melalui
organisasi ini, grup-grup sandiwara yang semula bermain tanpa naskah,
diharuskan mementaskan cerita tertulis (naskah). Dengan demikian, naskah
tersebut dapat disensor sebelum dipentaskan. Aturan ini akhirnya justru
menghasilkan jumlah naskah yang besar sekali.
Seperti yang telah
diungkapkan di atas, bahwa sastra yang berkembang pada masa kolonial jepang
adalah sastra propaganda. Nuansa propaganda pada setiap drama yang ditulis dan
dipentaskan sangat kuat. Seperti tergambar pada setiap watak tokoh dan
perjuangan setiap rakyat yang terdapat di dalam drama yang sering menggambarkan
penghancuran budaya barat dari timur. Hampir semua drama yang ditulis pada masa
kolonial jepang mengungkapkan semangat zaman yang digerakkan dinas propaganda
pemerintah militer jepang (Sendenbu), kecuali sebuah drama yang ditulis antara
1 Juli 1943—6 Juli 1945 oleh Amal Hamzah berjudul “Tuan Amin” sebuah sandiwara
komedi satu babak, yang secara sinis menanggapi tidak nyamannya kehidupan masa
itu, terutama bagi para pegawai rendahan.
Drama ini mengisahkan
kehidupan di sebuah kantor yang dipimpin Tuan Amin. Ia dikenal sangat disiplin
pada aturan, sehingga para pegawainya merasa tertekan dan dengan diam-diam para
pegawai ini sana sekali tidak menghormati pimpinannya itu, bahkan dijadikan bahan
cemoohan. Amal Hamzah menampilkan sosok Tuan Amin sebagai orang yang dengan
“cerdas” mampu membaca situasi, seperti ditulis berikut ini tentang tokoh Tuan
Amin, kepala kantor. Sikap Amal Hamzah yang memposisikan diri sebagai sastrawan
yang tidak senang dengan pendudukan Jepan memberi warna pada karya-karya drama masa
Jepang. Sementara para penulis lainnya mengamini semangat zaman, Amal Hamzah
justru mencemooh orang-orang yang berkolaborasi dengan Jepang. Masa pendudukan
Jepang dipandangnya sebagai “rumah gila” yang menyimpan banyak pasien sakit
jiwa seperti tergambar dalam tokoh Tuan Amin.
Pada hakikatnya sastra
populer pada masa peralihan memang tidak berkembang karena sikap pemerintah
jepang yang sangat protektif terhadap karya-karya sastra (baik prosa, maupun
drama). Pemerintah kolonial jepang beranggapan bahwa karya sastra dapat
memengaruhi setiap pembacanya untuk bertindak sesuai dengan apa yang
diungkapkan penulis (penyair) pada setiap karyanya. Akan tetapi, pengekangan
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda pada masa itu berakibat pada
berkembangnya seniman-seniman drama dan karyanya yang dipandang hebat.
KARAKTERISTIK
SASTRA PADA MASA PERALIHAN JEPANG
Karakteristik pada
setiap periode sastra sangatlah berbeda. Biasanya karakteristik pada setiap
karya yang berkembang pada masa itu mencerminkan keadaan pada masa tersebut.
pada masa peralihan jepang (penjajahan jepang) karakteristik yang muncul adalah
sebagai berikut:
1. Karakteristik yang muncul pada karya
sastra berbentuk puisi.
·
Menggunakan
gaya realisme;
·
Gaya
ironi dan sinisme menonjol;
·
Bahasa
kiasan dominan metadora dan simbolik.
2. Karakteristik yang muncul pada karya
sastra berbentuk prosa.
·
Menggunakan
diksi yang padat, pendek, dan ekonomis;
·
Bercorak
realistis;
·
Mengemukakan
masalah kemasyarakatan yang universal;
·
Mengemukakan
pandangan hidup dan pikiran pribadi.
3. Karakteristik yang muncul pada karya
sastra berbentuk drama.
·
Mengajak
masyarakat untuk mendukung pemerintah jepang dalam setiap pergerakannya melawan
sekutu (untuk drama yang mendukung pemerintah jepang).
·
Mengagung-agungkan
bangsa timur (untuk drama yang mendukung pemerintah jepang).
·
Mengungkapkan
untuk mempertahankan identitas ketimuran setiap orang indonesia.
·
Sikap
tokoh dibuat dengan perangai yang cenderung membangkang pada atasan (untuk
drama yang tidak mendukung pemerintah jepang).
·
Terdapat
banyak simbol yang menghina pemerintah jepang, seperti “dewa matahari” dalam
drama tuan amin karya amal hamzah (untuk drama yang tidak mendukung pemerintah
jepang).
·
Selalu
menanggapi secara sinis keadaan pada masa itu.
Pada keseluruhan
karakteristik yang muncul dari setiap karya sastra yang ada pada masa itu
adalah berupaya untuk mempropaganda rakyat indonesia untuk mendukung pemerintah
jepang dalam upaya jepang untuk melawan sekutu dan barat. Selain propaganda
yang sangat kental pada setiap karya yang muncul pada masa itu (khususnya
drama), karya-karya pada masa peralihan jepang pun sangat kental dengan
simbol-simbol yang mencemooh pemerintah jepang, seperti yang sering dilakukan
oleh amal hamzah dalam setiap karyanya, pun demikian dengan kondisi yang
terjadi pada masa itu, para seniman yang muncul pada masa itu cenderung
memandang sinis pada keadaan masa itu.