Background

Gadis Penenun Senyum



GADIS PENENUN SENYUM
Oleh :
Arif M. Rasyid
 


Jalanan ini sekarang tampak suram, tak seceria dulu – ketika aku masih berlarian dengan ceria. Kerlipan cahaya malam seakan sirna untuk selamanya, sekarang yang nampak adalah gelap gulita, tanpa penerangan apapun. Trotoar tak nampak, jalanan yang hitam sekarang tampak seperti sebuah kain hitam raksasa yang dibentangkan di tengah-tengah jalan, benar-benar gelap gulita. Aku berjalan meraba-raba tanpa arah yang pasti, tanganku menerawang untuk mencari pegangan dan akan kujadikan patokan untuk berjalan, tapi aku tidak menemukannya, tiba-tiba, “duk” kakiku tersandung bebatuan besar, aku merasa sangat kesakitan, tapi aku tidak bisa melihat, apakah kakiku berdarah atau tidak? Karena jalan ini sekarang gelap gulita. Kemudian aku bangkit dan kembali mencoba meraba-raba, barangkali masih ada tumpuan atau tembok yang bisa aku sentuh atau pegang untuk kujadikan pegangan dalam melalui jalan yang sekarang gelap gulita ini.
Lama aku mencari pegangan, akhirnya aku menyentuh sebuah benda datar yang cukup besar, permukaannya sedikit agak kasar, serta mungkin juga berdebu. Kemudian aku raba benda datar itu, aku raba dari kiri ke kanan, hingga akhirnya aku yakin itu adalah sebuah tembok. Aku terus meraba tembok itu sambil berjalan, sesekali aku menganggukkan kepala, mencoba menyatukan diriku dengan tembok itu. Dalam hati aku terus berharap di ujung jalan ini akan ada seberkas cahaya yang dapat menerangi jalanan ini nanti, pikiran itu terus aku katakan, hingga akhirnya aku merasa yakin. Tetapi ada yang aneh, semakin aku meraba-raba tembok itu, semakin busuk bau debu yang dihasilkannya. Aku tidak tahan dengan bau busuk debu itu, tapi apa dayaku? Aku harus tetap berjalan agar dapat menemukan cahaya terang. Ketika aku sedang asyik meraba-raba tembok besar itu, aku bersenggolan dengan seseorang, “ah, maaf saya tidak bisa melihat anda, jalanan ini gelap sekali! Maaf” kataku sambil meraba orang itu.
apa?! gelap? Jalanan ini terang, terang sekali! Apa kau buta?” orang itu berteriak, persis di depan telingaku.
Aku tidak buta dan aku tidak berbohong, jalanan ini gelap, aku tidak bisa melihatnya!” aku berbalik berteriak kepadanya.
ah, kau ngawur!!! Barangkali kau buta, tapi kau tidak menyadarinya. Coba kau pulang dan tanyakan pada kedua orang tuamu! Mungkin mereka menyembunyikan kebutaanmu!” ia berkata sambil tertawa.
jika kau tidak percaya, sana minggir aku sedang berjalan untuk mendapatkan cahaya!” aku berkata dengan nada sedikit marah.
Sepanjang jalan aku terus memikirkan perkataan orang tadi, dari suaranya, aku yakin ia perempuan. Kemudian aku terdiam, aku penasaran dengan pengelihatanku, aku tidak buta hanya jalanan ini saja yang gelap. Lalu aku mencari sesuatu untuk aku baca, aku mulai merangkak, mencari kertas koran bekas gorengan atau kertas sobekan buku yang terbuang di tempat sampah. Ketika aku sedang mencari, tiba-tiba kepalaku terbentuk pada sebuah tong yang sepertinya berbentuk tabung, “dong! Aduh sialan!!! Apa ini!” teriakku. Kemudian aku berdiri, meraba tong itu dan mulai mengacak-acak isinya, lalu tanganku menyentuh sesuatu yang berbentuk seperti kertas, aku mengambilnya, merabanya, dan bisa kupastikan itu kertas sobekan dari sebuah koran. Kemudian aku membacanya, di sana tertulis “Desember 12, lalu lintas jalanan sedikit macet”, aku raba tangan kiriku, nampak aku memakai sebuah jam tangan, kemudian aku melihat pada jam itu dan ternyata hari ini adalah tanggal 12 Desember.
Aku terus berjalan sambil memegang kertas itu dan meraba tembok, tiba-tiba aku kembali menabrak seseorang. Baik aku atau pun dia sama-sama terjatuh, tetapi orang yang aku tabrak kali ini menolongku, ia membantuku untuk bangkit, kemudian ia berkata “kau tidak apa-apa?” suaranya sungguh membuatku tenang, seakan seorang penyanyi profesional sedang menyanyikan Lulaby untukku, - aku yakin ia seorang wanita, tidak mungkin seorang laki-laki memiliki teriakkan seperti itu, aku yakin ia wanita. Ia memegang tanganku, kemudian membantuku duduk.
Ah, ada yang aneh..... kali ini aku bisa melihat sosok wanita ini, ia berkerudung, meskipun sedikit buram, aku bisa melihat matanya yang sedikit sipit, mungkin dia seorang wanita keturunan Tionghoa atau hanya matanya saja yang sipit? Aku tidak tahu, yang jelas ia memiliki mata sipit dengan bibir tipis berwarna merah muda, hmm.....bentuk wajahnya sedikit oval dengan pipi yang agak besar. Ia terus bertanya “kau tidak apa-apa?”, entah berapa lama ia terus berkata demikian, yang pasti aku terus menerawang wajahnya. Lalu tangannya menyentuh pipiku yang telah kotor, karena terus mengusapkan debu yang dihasilkan dari tembok itu, seketika itu pandanganku sedikit membaik.
Ternyata benar! Ia seorang perempuan berkerudung, ia tersenyum padaku, manis sekali. Perawakannya tidak terlalu tinggi, untuk seukuran wanita itu ideal, waktu itu ia memakai baju berwarna hijau muda dengan motif bunga-bunga kecil, indah sekali. Ia kemudian sekali lagi bertanya “apa kau tidak apa-apa?”, kali ini aku bisa melihat senyumnya, aku menjawab dengan gugup “aku tidak apa-apa, terima kasih” setelah aku menjawab, ia tetap berdiri di depanku dengan tatapan yang lucu, dengan sesekali senyum tersirat. “Apa yang ia mau dariku? Bukankah, ketika sudah menolong orang, seseorang akan pergi meninggalkan orang yang ia tolong? Tapi kenapa ia terus berdiri di hadapanku?” pikirku dalam hati.
Oh, mungkin ia menunggu uang tips dariku, kemudian aku memberinya beberapa uang, tapi ia tetap tidak pergi. Malah ia terus tersenyum padaku dengan lucu, aku mendekat padanya, mencoba mencium parfumnya, aku takut aku sedang dalam pengaruh fatamorgana tembok yang aku pegang. Ternyata tidak! Ia ternyata tidak suka memakai parfum berlebih, hanya mungkin wangi dari bedak yang ia pakai saja. Lantas aku menatapnya dengan tajam, matanya terlihat sayu, tapi tidak menyiratkan kesedihan, bibirnya terlihat tulus tersenyum, nafasnya tidak terengah-engah seperti orang yang sedang berbohong, kemudian aku bertanya padanya tentang yang ia harapkan dariku. Ia hanya tersenyum saja tanpa berkata-kata, kini aku tahu ia adalah seorang penjual senyum. Kemudian aku berjalan kembali dan meraba-raba tembok tadi, tapi ia menghampiriku dengan cepat dan memegang tanganku, lalu ia letakkan tanganku di pundaknya dan ia pun berkata “kau bisa pakai pundakku sebagai tongkat” sambil tersenyum ia berjalan di depanku dengan tanganku di pundaknya.
Aku bisa merasakan tubuhnya yang hangat, seketika itu pula otakku yang tadinya merasa kebingungan dengan semua hal yang sedang terjadi menjadi sedikit tenang, pandanganku pun berangsur membaik, kali ini aku bisa melihat kerudung yang ia kenakan, kuning muda. Trotoar pun bisa aku lihat meski belum sejelas yang aku inginkan, kemudian aku melepaskan tanganku dari pundaknya. Ia pun berbalik, lalu berkata “apa pundakku membuatmu sakit? Apa aku berjalan terlalu cepat?
ah, tidak....pundakmu sangat hangat, jalanmu tidak terlalu cepat, hanya saja pandangan mataku mulai membaik, terima kasih” aku berkata sambil tersenyum padanya.
baguslah kalau begitu, apa kita pernah berjumpa?” ia malah bertanya pertanyaan yang tidak mungkin aku jawab, aku pikir “pertanyaan bodoh macam apa itu!” kami baru bertemu tapi ia sudah seperti orang yang mengenalku dari dulu, aku hanya menggelengkan kepala. “coba kau terawang wajahku! Rasanya aku pernah bertemu denganmu!”, lantas aku dekatkan wajahku padanya, aku terawang wajahnya dengan seksama, mulai dari bentuk dahi sampai bentuk dagu, tak ada yang membuatku merasa bahwa kita pernah bertemu sebelumnya. Aku pun menarik wajahku dan menggelengkan kepala, kemudian ia tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Aku kembali berjalan, kemudian ia mendekat padaku dengan senyumnya yang manis, tiba-tiba ia menjulurkan tangan.
namaku Lady Eleven! Apa aku boleh tahu namamu?” ia memperkenalkan dirinya dan mencoba bertanya tentang namaku.
hmm,.....aku, aku...hmm...” aku kebingungan, aku rasa aku lupa dengan namaku sendiri.
apa kau lupa dengan namamu?” ia mendekatkan wajahnya pada wajahku, aku bisa melihat matanya yang hitam mencoba menerawang namaku dari bola mataku, kemudian “namamu, hmm,..... aku pikir Wise, ya itu! Wise...” ia kemudian tersenyum. Aku hanya terpana melihatnya, “bagaimana ia tahu namaku dari bola mataku?” pikirku dalam hati. Kemudian aku mengejarnya, lalu bertanya “hei, bagaimana kau tahu namaku?”, ia menoleh dan menjawab “itu gampang! Aku sudah lama mempelajari seluk beluk perilaku manusia, jadi hanya mengetahui nama saja itu mudah!” ia kemudian kembali menatapku, “kau juga lebih tua dariku, meskipun kita lahir ditahun yang sama, kita berbeda tiga bulan, kau lebih dulu lahir......” ia tersenyum padaku.
aku tidak ingat apapun, nama dan segalanya” aku berkata padanya, ia hanya mengangguk dan kemudian sesekali ia menatapku dengan senyumannya yang khas, lalu tanpa aku sadari kakiku tersandung, aku pun tersungkur jatuh, tapi kali ini aku bisa melihat darah yang mengalir dari kakiku itu, entah malaikat apa yang melintas dihadapanku. Semua mengenai diriku kembali bisa aku ingat, ia benar namaku Wise, dan ia benar aku lebih tua darinya tiga bulan saja, “apa mungkin dia ini penyihir?” tapi, itu tidak mungkin..... mana ada penyihir memakai kerudung, yang benar saja!. ia kembali menghampiriku, kali ini wajah, tubuh, senyumnya, semua yang ada pada dirinya terlihat dengan jelas, ternyata ia memakai sejenis kawat di giginya, mungkin agar giginya terlihat bagus.
Aku menghampirinya, mengucapkan terima kasih dan menceritakan tentang diriku padanya, ia terlihat begitu terpengaruh dengan ceritaku, tapi kali ini aku tidak mengerti perkataanku sendiri, aku seakan-akan laki-laki hebat tapi aku tidak mengerti apa yang aku ucapkan padanya, namun ia menyukainya, aku mencoba membaca gerakan bibirku pada beberapa kaca yang aku lewati, tapi aku tetap tidak bisa mengerti. Kemudian aku terus berjalan tanpa aku bisa mengerti apa yang aku ucapkan, hingga akhirnya aku melihat titik-titik bunga dibaju Lady Eleven mulai bermekaran, harum sekali baunya, ia tersenyum sangat manis padaku, aku seperti berada dalam alam mimpi, bajunya begitu berwarna.....indah rasanya.....
Ia pun terus mendekat padaku dengan tatapan dan senyumnya yang manis, kali ini ia bagaikan candu, aku tidak bisa menahannya untuk menghampiriku, aku mencoba untuk menolak dan menoleh darinya, tapi ia seakan cermin yang ada di setiap sudut jalan, bahkan awan pun merefleksikan wajahnya. Kini aku merasa sedang berada dalam dirinya, ia ternyata menghangatkan, kata-katanya membuatku tersadar bahwa ia adalah seorang perempuan biasa yang sedang mencoba bangkit dari kemalasan, ia terus menceritakan dirinya, anehnya aku mulai tertarik pada ceritanya, kemudian aku pun menceritakan diriku, tapi tetap aku tidak bisa mengerti apa yang aku katakan padanya, tapi ia suka..... dipersimpangan jalan, kami berdua berdiri, aku tahu ia mulai suka denganku, kemudian aku memberanikan diri untuk menghampiri hidupnya, tapi ia malah berkata “aku sebenarnya suka dengan kau, tapi kenapa baru hari ini kita bertemu?”.
Sejenak aku merasa itu adalah kata penyesalan darinya, entah mengapa. Aku tahu tak selamanya harus sesuai dengan keinginanku, kemudian aku putuskan untuk terus berjalan dengannya, tapi kali ini terlihat ada sedikit jarak, ia mulai mengurangi senyum khasnya. Aku mulai tidak merasa bahwa ia menghangatkan, tak lama ia mulai menjauh, entah mengapa ia menghilang terasa sangat cepat, aku tak kuasa berlari mengejarnya, ia terlalu cepat, hingga aku tersungkur dan tak bisa melihatnya sama sekali. Kurasa apa yang ia katakan itu benar “kenapa baru hari ini kita bertemu?” aku kembali menyusuri tembok itu, dan berjalan tanpa arah. Tiba-tiba cahaya muncul dan terdengar bunyi-bunyi yang sangat gaduh menusuk telingaku, aku pun terbangun, aku tersadar.....aku sedang tidur terlalu lelap hingga bermimpi indah nan aneh, aku tersadar bahwa gadis itu hanya ada di dalam mimpiku, ternyata ia tak nyata, aku hanya tersenyum sambil menyeka keringat yang keluar dari wajahku, sesekali aku menarik nafas untuk mengembalikan diriku yang sempat terombang-ambing gelombang mimpi aneh nan indah.
Mataku menoleh ke segala arah, ternyata aku masih di dalam kamarku, tapi kemudian sebuah potret senyum yang manis dari seorang gadis di samping ranjangku menyadarkanku bahwa Lady Eleven nyata, aku pegang foto itu dan aku mulai merasa kehilangan, ia memberi arti bagi hidupku, ternyata aku pernah buta, ia yang terus menolongku, kemudian aku ingat, aku telah banyak melupakannya, membuatnya terluka hingga ia memutuskan untuk menghindariku dan pergi entah kemana, aku menyadari keburukanku hingga akhirnya aku terperanjat dari tempat tidur, keluar rumah dan berlari mengejar dirinya dan mengumpulkan kembali puing-puing senyum darinya yang mulai terdistorsi oleh waktu, aku hanya bisa tersungkur untuk kesekiankalinya, tapi kali ini aku bangun sendiri tanpa ada dia yang membantuku berdiri. Aku hanya bisa berdiri tanpa kata, dengan setetes-demi-setetes air mata penyesalan mulai mengalir, aku bisa melihat lagi karena dia, tapi aku hanya bisa mendatangkan kepedihan padanya....
Beberapa bulan setelah aku tersadar, aku sering melewati jalanan tempat aku dan dia pertama kali bertemu, tapi tak sekali pun aku bertemu dengannya, aku berharap aku memiliki mesin waktu, agar aku bisa memutar waktu untuk terlahir satu ruangan dengannya, melewati masa kecil dengannya, melewati masa-masa sulit dengannya, merobek kata-kata kasar tak penuh arti dari mulutku, mencoba melihat senyumnya untuk kesekian kali, dan mengatakan “aku minta maaf terlalu terbawa mimpi sehingga tidak melihatmu yang selama ini menyembuhkan aku dan mencoba menyadarkan dari mimpi-mimpi muakku yang tak mungkin jadi kenyataan”.
Aku kembali tersungkur dan menyusuri jalanan dengan kesendirian.......

BANDUNG, 2014

Categories: Share

Leave a Reply