Jurnal Kritik Teks
WAWACAN SAPRI :
KRITIK TEKS DAN TINJAUAN KANDUNGAN
Oleh :
Arif M. Rasyid
ruthlessdeed666@rocketmail.com
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Artikel ini merupakan kajian terhadap naskah Wawacan
Sapri yang ditemukan di Desa Pasirhuni Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung.
Kajian meliputi seluruh aspek teks naskah Wawacan Sapri, diharapkan
dapat menghasilkan edisi teks yang mudah dibaca dan terjemahan teks yang mudah
dipahami. Metode utama yang digunakan ialah metode deskriptif analisis dengan
menerapkan kritik teks naskah tunggal edisi standar. Berdasarkan hasil kajian
yang dilakukan, diketahui bahwa teks naskah Wawacan Sapri merupakan teks
naskah yang disajikan dengan bentuk karangan Pupuh (puisi terikat)
dengan pemakaian Pupuh yang telah memenuhi bentuk konvensional yang
berlaku di masyarakat Sunda dewasa ini, serta terdapat refleksi kearifan lokal
dalam bentuk pemakaian bendé dan terdapat pula kemiripan antara teks naskah
Wawacan Sapri dengan teks naskah Hikayat Indra Bangsawan versi Melayu dan versi
Aceh.
Kata Kunci : Wawacan Sapri, Pupuh,
Tinjauan Kandungan
PENDAHULUAN
Nusantara
merupakan rakasasa pernaskahan bahasa daerah dunia (Subadio, 1991:1). Kiranya
pernyataan tersebut tidaklah berlebihan, pernyataan tersebut dapat dibuktikan
dengan dua hal; pertama penemuan naskah-naskah yang ada di Nusantara yang
sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), kedua
naskah-naskah yang tersimpan di belahan dunia lain (Eropa), terutama di KITLV
Belanda. Kemudian, berdasarkan pernyataan tersebut pula dapat diketahui bahwa
tradisi tulis di Nusantara telah berlangsung lama, sehingga menghasilkan
karya-karya tulis yang beragam. Pernyataan peneliti tersebut diperkuat dengan
penemuan naskah Melayu tertua, yaitu Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di
Kerinci, Jambi. Naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah diperkirakan ditulis
sekitar abad ke-14, hal tersebut telah dibuktikan secara radiokarbon (C-14)
yang secara ilmiah memastikan bahwa naskah ini ditulis sekitar abad ke-14
(Kozok, 2006:xvii).
Naskah-naskah
di Nusantara memiliki bentuk yang cukup beragam dalam penyajiannya, secara
garis besar naskah-naskah di Nusantara berbentuk Puisi, Prosa, dan Prosa
berirama (Djamaris, 2002:5). Selain itu, pemakaian huruf pada naskah pun
beragam dan menyesuaikan dengan daerah masing-masing serta memakai bahasa
daerah masing-masing pula. Salah satu bentuk naskah yang sering ditemukan
adalah naskah kesusastraan. Naskah kesusastraan biasanya berisi tentang
cerita-cerita yang berkembang di masyarakat pada masa lampau, baik berdasarkan
kisah nyata maupun fantasi belaka. Adapun salah satu contoh naskah kesusastraan
ialah naskah Wawacan Sapri, yang kemudian akan disingkat menjadi WS.
Naskah WS merupakan naskah kesusastraan berbentuk Wawacan. Wawacan
merupakan bentuk karya sastra yang sangat populer pada abad ke-19 sampai awal
abad ke-20 (Moriyama, 2002:2). Pada wawacan biasanya terdapat pupuh
yang merupakan salah satu aspek yang dalam membuat sebuah wawacan. Pupuh
merupakan bentuk puisi tradisional yang berasal dari Sunda yang memiliki jumlah
suku kata, nama, sifat, jumlah baris, dan bunyi vokal akhir tertentu. menurut
Danasasmita (2001:172) pupuh ialah ikatan puisi yang sudah tertentu
untuk melukiskan hal-hal yang sudah tertentu pula.
Objek
penelitian berupa naskah berjudul Wawacan Sapri, kemudian disingkat
menjadi WS. Naskah WS ditemukan di Desa Pasirhuni, Kecamatan Cimaung, Kabupaten
Bandung. Naskah dimiliki oleh seorang penduduk bernama Ki Ma’mur, informasi
mengenai keberadaan naskah WS dikemukakan oleh seorang informan bernama Arif
Mustopa. Berdasarkan hasil pembacaan naskah, naskah WS termasuk ke dalam cerita
fiksi yang penuh dengan ajaran-ajaran moral. Selanjutnya, peneliti menemukan
naskah yang mirip dengan naskah WS yaitu Hikayat Indra Bangsawan. Kemiripan
tersebut terletak pada alur cerita yang disajikan dan nama-nama tokoh yang ada
pada kedua naskah tersebut. Akan tetapi, perbedaan terletak pada pemakaian
jenis karangan, bahasa yang dipakai, dan beberapa nama tempat dan tokoh. Namun
secara keseluruhan isi cerita, baik naskah WS maupun Hikayat Indra Bangsawan
sama persis.
Adapun
penelitian mengenai naskah-naskah sejenis dengan naskah WS yang telah
dilakukan, diantaranya dilakukan oleh Septiyadi Sobar Barokah Saripin terhadap
naskah wawacan bidayatussalik. Naskah wawacan bidayatussalik merupakan
naskah koleksi pribadi Ny. Eem Sulaemi, naskah wawacan bidayatussalik merupakan
salah satu judul cerita dari satu naskah, yaitu wawacan bidayatussalik, Jaka
Mursyid, Bima Suci dan Bab Ilmu Tauhid. Teks naskah ini merupakan
teks keagamaan, yaitu teks yang berisi tentang ajaran-ajaran Tasawuf.
Penelitian mengenai wawacan bidayatussalik ini merupakan Skripsi untuk
program S1 di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan
Indonesia. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian
filologi naskah tunggal edisi standar. Kesulitan dalam penelitian ini, ialah
naskah yang sudah mulai rusak. Sebagian halaman ada yang hilang dan robek.
Kemudian, pada teks naskah ini menggunakan banyak bahasa serapan, terutama dari
bahasa Arab serta penggunaan ejaan bahasa Sunda lama yang sukar dibaca oleh
sebagian orang. Penelitian yang dilakukan telah menghasilkan edisi teks,
terjemahan, dan fungsi naskah, yaitu menerangkan tentang ajaran tasawuf.
METODE PENELITIAN
Pada
penelitian ini, metode yang digunakan ialah metode deskriptif analisis sebagai
metode yang menjadi dasar. Menurut Ratna (2010:53) metode deskriptif analisis
dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan
analisis. Selain itu, menurut Ratna (2010:337) metode deskriptif analisis lebih
banyak berkaitan dengan kata-kata, bukan angka-angka, benda-benda budaya apa
saja yang sudah diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa, baik secara lisan ataupun
tulisan. Sehingga pemakaian metode deksriptif analisis sebagai dasar penelitian
sangatlah tepat pada penelitian ini, karena objek pada penelitian berupa teks
(naskah).
Adapun
pada tahap analisis naskah WS, metode kajian filologis yang dilakukan ialah
metode kritik teks naskah tunggal edisi standar. Menurut Djamaris (2002:24) metode
standar digunakan apabila naskah itu dianggap cerita biasa, bukan cerita yang dianggap
suci atau penting dari sudut agama atau sejarah, sehingga tidak diperlakuan khusus
atau istimewa. Metode penelitian naskah tunggal edisi standar dilakukan agar mendapatkan
teks yang telah bersih dari kesalahan tulis yang terjadi ketika penyalinannya.
PEMBAHASAN
Teks
naskah WS secara keseluruhan masih dapat dibaca dengan jelas, meski halaman
awal pada naskah telah hilang. Teks naskah WS ditulis pada sebuah buku biasa
dengan menggunakan huruf Arab-Pegon dan berbahasa Sunda. Menurut penuturan
pemilik, naskah asli dibakar setelah disalin. Tulisan teks menggunakan tinta
berwarna hitam, sementara pungtuasi pada teks naskah menggunakan warna merah.
Sampul pada naskah menggunakan karton berwarna coklat dengan menggunakan metode
jahit pada sampulnya, kemudian diduga jahitan pada sampul naskah baru
dilakukan. Pada beberapa bagian, kertas pada naskah sudah mengalami kerusakan.
Namun, hal tersebut tidak memengaruhi keutuhan isi teks. Sehingga, teks pada
naskah masih dapat diteliti.
Selanjutnya,
pada teks naskah WS terdapat pemakaian Pupuh. Pada teks naskah WS Pupuh
yang dipakai sebanyak 15 Pupuh, adapun rincian mengenai pemakaian Pupuh-pupuh
tersebut pada teks naskah WS adalah sebagai berikut; Asmarandana
digunakan sebanyak 4 kali, Kinanti 4 kali, Gambuh 1 kali, Mijil
1 kali, Dangdanggula 3 kali, Pangkur 3 kali, Sinom 2 kali,
Wirangrong 1 kali, Pucung 1 kali, Magatru 1 kali, Durma 1
kali, Lambang 1 kali, Balakbak 1 kali, Ladrang 1 kali, dan
Maskumambang 1 kali. Pemakaian Pupuh-pupuh tersebut pada teks
naskah WS telah sesuai dengan karakteristik Pupuh konvensional yang
berlaku pada masyarakat Sunda. Sebagai contohnya; pemakaian Pupuh
Asmarandana. Pada bentuk konvensionalnya, Pupuh Asmarandana menggambarkan
suasana penuh cinta, saling kasih mengasihi, dan semangat birahi yang terbakar.
Secara karakteristik, penggambaran Pupuh Asmarandana pada teks naskah WS
sudah sesuai dengan karakteristik pupuh asmarandana yang berlaku di
masyarakat Sunda.
Selanjutnya,
penyimpangan padalisan yang terjadi pada teks naskah WS diduga merupakan
sebuah ketidaksengajaan penulis. Hal tersebut terjadi karena penulis diduga
lupa memberikan tanda pemisah antara larik yang satu dengan larik yang lainnya
dalam satu penamaan pupuh. Sehingga, larik yang tidak mendapat pemisah
tersebut memiliki jumlah guru wilangan yang melebihi aturannya. Kasus
penyimpangan padalisan terjadi pada pemakaian pupuh asmarandana I, bait
ke-11, antara larik ke-3 dan ke-4. Pada larik ke-3 tidak terdapat tanda pemisah
larik ( , ) sehingga larik ke-3 dan ke-4 terlihat menjadi satu dan larik
tersebut menyalahi aturan penulisan Pupuh. Namun, pada teks naskah WS
tanda pemisah tersebut pula dapat berfungsi pula sebagai Pedotan, yaitu
tekanan irama lagu. Kasus pemakaian tanda pemisah yang berfungsi sebagai Pedotan
terdapat pada Pupuh Balakbak I. Kemudian, pada beberapa bagian tanda
pemisah tersebut banyak yang sudah pudar atau merembes. Hal tersebut terjadi
karena pemakaian tinta yang berkualitas rendah.
Kasus
penyimpangan Padalisan selanjutnya adalah peloncatan Larik. Pada
teks naskah WS kasus ini terjadi sebanyak 11 kali. Kasus peloncatan tersebut
dapat ditemukan pada Pupuh Dangdanggula I pada bait ke-86, Sinom I
bait ke-127 dan 133, Kinanti II bait ke-176, Pangkur II bait
ke-300, Durma I bait ke-309, Dangdanggula II bait ke-433 dan 438,
Kinanti IV bait ke-538, Dangdanggula III bait ke-620, dan Asmarandana
IV bait ke-646. Selain itu, pada teks naskah WS terdapat pula kasus
penambahan larik. Peneliti menduga kasus ini dapat terjadi disebabkan faktor
ketidaksengajaan penyalin atau keinginan penyalin untuk memenuhi aspek
penceritaan. Kasus penambahan larik terjadi pada Pupuh Wirangrong I,
yaitu pada bait ke-219, larik ke-4. Pada Pupuh Wirangrong I terdapat
satu larik tambahan, yaitu larik ke-4. Peneliti menduga, bahwa penyalin tidak
sengaja menambahkan larik tersebut. Kemudian, peneliti melakukan perbaikan pada
bait ke-219 Pupuh Wirangrong dengan menghilangkan larik ke-4 tersebut.
Selanjutnya,
pada teks naskah WS terdapat penyimpangan Guru Lagu (bunyi vokal akhir
dalam satu larik). Penyimpangan Guru Lagu dapat berakibat pada penentuan
jenis Pupuh. Namun, penyimpangan Guru Lagu tidak berdampak besar
pada makna atau pesan isi teks dalam satu larik. Berikut ini merupakan contoh
penyimpangan Guru Lagu pada teks naskah WS, yaitu pada Pupuh
Asmarandana I, bait ke-7, larik ke-7. Pada Pupuh Asmarandana I larik ke-7, terdapat
kata nagari yang berlainan dengan kaidah penulisan larik ke-7 Pupuh
Asmarandana, yaitu 8-a. Maka, peneliti melakukan perbaikan pada larik
tersebut dengan mengganti kata Nagari menjadi Nagara. Penggantian
kata tersebut tidak berpengaruh pada makna teks-nya, karena baik kata Nagari
atau Nagara artinya sama yaitu negara. Kemudian, pada teks naskah WS
terdapat satu Pupuh yang penulisannya tidak sesuai dengan kaidah
penulisan yang berlaku di masyarakat Sunda, yaitu Pupuh Ladrang. Jika pada
bentuk konvensionalnya, Pupuh Ladrang memiliki kaidah; 10-i, 4-a (2x),
8-i, 12-a. Tetapi, Pupuh Ladrang teks naskah WS berbeda, 12-u, 6-é, 8-a,
8-é. Selain itu, Pupuh Ladrang pada teks naskah WS pun mengalami penambahan
larik, yaitu larik kelima yang memiliki guru lagu 12-a.
Selanjutnya, penyimpangan tersebut tidak peneliti perbaiki. Hal tersebut
dilakukan, karena penyimpangan terjadi pada keseluruhan pemakaian pupuh
ladrang teks naskah WS.
Kasus
penyimpangan berikutnya yang terjadi pada teks naskah WS adalah penyimpangan Guru
Wilangan. Kasus penyimpangan Guru Wilangan ditandai dengan adanya
penambahan atau pengurangan huruf, suku kata,atau kata dalam satu larik.
Penyimpangan tersebut dapat terjadi, disebabkan oleh faktor kesengajaan dan
faktor ketidaksengajaan. Berdasarkan hasil pengamatan, kasus penyimpangan Guru
Wilangan dalam teks naskah WS merupakan kasus penyimpangan yang
mendominasi. Pada beberapa kasus penyimpangan Guru Wilangan, baik berupa
pengurangan maupun penambahan, peneliti tidak melakukan koreksi. Hal tersebut
dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, di antaranya 1) penyimpangan
tersebut bersifat konsisten, yaitu tidak hanya ada pada satu larik saja,
melainkan larik seluruh bait pada Pupuh tersebut, 2) jika peneliti
melakukan koreksi pada penyimpangan tersebut, dikhawatirkan akan mengubah makna
dari larik, 3) peneliti beranggapan penyimpangan-penyimpangan Guru Wilangan pada
teks naskah WS merupakan kekhasan kaidah penulisan Pupuh teks naskah WS.
Salah satu contoh Pupuh yang mengalami penyimpangan Guru Wilangan,
yaitu Pupuh Dangdanggula I.
Jika
pada bentuk konvensionalnya, Pupuh Dangdanggula memiliki kaidah
penulisan 10-i, 10-a, 8-é/o, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, dan 7-a. Maka,
kaidah penulisan Pupuh Dangdanggula pada teks naskah WS berubah menjadi
10-i, 10-a, 8-é/o, 8-u, 8-i, 8-a, 6-u, 8-a, 12-i, dan 8-a.
Perubahan yang terjadi pada larik ke-4, 5, 6, dan 10. Kemudian, terdapat
beberapa pupuh pada teks naskah WS yang memiliki kaidah penulisan yang
berbeda dari bentuk konvensionalnya, di antaranya; 1) pupuh asmarandana (8-i,8-a,
8-é/o, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a menjadi 8-i, 8-a, 8-é/o, 8-a, 8-a, 8-u,
8-a) perubahan terjadi pada larik ke-5, yaitu 7-a menjadi 8-a, 2) pupuh
pangkur (8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, 8-i menjadi 8-a, 12-i, 8-u,
8-a, 12-u, 8-a, 8-i) perubahan terjadi pada larik ke-2 dan 4,
yaitu 11-i menjadi 12-i dan 7-a menjadi 8-a, 3) pupuh sinom (8-a, 8-i,
8-a, 8-i, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, 12-a menjadi 8-a, 8-i, 8-a, 8-i, 8-i, 8-u,
8-a, 8-i, 12-a) perubahan terjadi pada larik ke-5 dan 7, yaitu
7-i menjadi 8-i dan 7-a menjadi 8-a, 4) pupuh maskumambang (12-i, 6-a,
8-i, 8-a menjadi 12-i, 8-a, 8-i, 8-a) perubahan terjadi pada larik ke-2,
yaitu 6-a menjadi 8-a, 5) pupuh gambuh (7-u, 10-u, 12-i, 8-u, 8-o,
menjadi 8-u, 8-u, 8-i, 8-u, 8-o) perubahan terjadi pada larik ke-1,
2, dan 3, 7-u menjadi 8-u, 10-u menjadi 8-u, 12-i menjadi 8-i, 6) pupuh
durma (12-a, 7-i, 6-a, 7-a, 8-i, 5-a, 7-i, menjadi 12-a, 8-i, 6-a,
8-a, 8-i, 5-a, dan 8-i) perubahan pada larik ke-2, 4, dan 7,
yaitu 7-i menjadi 8-i, 7-a menjadi 8-a, 7-i menjadi 8-i.
Kasus
penyimpangan selanjutnya ialah penyimpangan redaksional. Penyimpangan
redaksional ialah kasus kesalahan tulis dan variasi bentuk bacaan pada naskah.
Kasus penyimpangan dapat berpengaruh pada bentuk penyajian suntingan teks. Pada
tahapan analisis penyimpangan redaksional terbagi pada tiga jenis, yaitu
penggantian (emendasi), penghilangan (omisi), dan penambahan (adisi).
Berdasarkan hasil analisis penyimpangan redaksional, dapat diketahui bahwa
kasus penyimpangan redaksional tidak terlalu mendominasi kasus penyimpangan
pada teks naskah WS, yaitu terjadi sebanyak 329 kasus atau 7,66% dari
keseluruhan teks yang berjumlah 4292 baris dengan rincian sebagai berikut; emendasi
(penggantian) 3,75% (161 kali), omisi (penghilangan) 1,63% (70
kali), dan adisi (penambahan) 2,28% (98 kali).
Selanjutnya,
pada teks naskah WS mengandung beberapa nilai, di antaranya; aspek pemakaian
bendé pada teks naskah WS yang merepresentasikan kearifan lokal dan aspek
kemiripan teks naskah WS dengan dua teks naskah Hikayat Indra Bangsawan
(disingkat menjadi HIB a1 dan b1). Pada teks naskah WS, bendé merupakan benda
yang keberadaannya sangat penting untuk memanggil rakyat berkumpul di istana,
baik untuk mengumumkan keadaan getir ataupun sukacita.
Bendé
merupakan nama salah satu waditra alat bunyi-bunyian dari Jawa. Menurut
Rocyatmo (2010:16) meski bendé merupakan salah satu ricikan gamelan
Jawa, tetapi bendé lebih berfungsi mandiri. Bendé berbentuk seperti
gong, namun bentuknya lebih kecil. Sehingga, beberapa orang menyebut bendé
sebagai gong kecil. Kemudian, pada teks naskah WS bendé berfungsi sebagai alat
komunikasi massal. Sehingga, apapun keperluan yang akan disampaikan oleh
seorang raja, maka raja akan menyuruh patih untuk memukul bendé. Pada teks
naskah WS, bendé memiliki dua fungsi; 1) tanda untuk mengumpulkan warga/rakyat
dan pangkat kerajaan/pejabat kerajaan (pupuh asmarandana I, bait ke-7),
2) berfungsi mengumpulkan prajurit untuk memulai berperang (pupuh kinanti III,
bait ke-360).
Bendé
berfungsi sebagai pemecah perhatian khalayak, agar perhatian khalayak terpusat
pada suara bendé tersebut, kemudian si pemukul bendé akan memberikan informasi
tersebut kepada khalayak. Menurut Rochyatmo (2010:20) isi amanat beragam :
pengumuman, penerangan wilayah, anjuran, ajakan beramai-ramai, bahkan lakon
wayang wong dan ketoprak pun disebar luaskan secara lisan dengan bendé. Selain
itu, jika dilihat dari bentuknya yang kecil, bendé sangat mudah dibawa-bawa.
Berbeda
halnya dengan gong yang memiliki berat dan bentuk besar, sehingga membuat gong
sulit dibawa-bawa, pun demikian dengan suaranya, gong cenderung memiliki suara
yang berat, sehingga dari kejauhan akan terdengar samar-samar, karena
terdistorsi oleh udara dan suara lain. Selain itu, bunyi gong tidak menimbulkan
bunyi sugestif, sehingga orang yang mendengarnya tidak terlalu berminat dengan
asal suara tersebut.
Kemudian,
nilai kedua yang terkandung di dalam teks naskah WS adalah kemiripan teks
naskah WS dengan dua teks naskah Hikayat, yaitu Hikayat Indra Bangsawan versi
Melayu (Lani, 2007:44), kemudian disingkat menjadi HIB a1 dan Hikayat Indra
Bangsawan versi Aceh (Harun, 1982) kemudian disingkat menjadi HIB b1. Ketiga
teks tersebut memiliki kemiripan yang cukup signifikan, mulai dari alur cerita,
penamaan tokoh, dan nama latar tempat. Namun, tetap saja ada beberapa aspek
yang menjadi pembeda antara satu naskah dengan naskah yang lainnya.
Kemiripan
alur cerita terdapat pada benda yang dicari oleh dua tokoh utama (Sapri dan
Indra Bangsawan), yaitu buwam parandu (teks naskah WS). Pada dua teks
naskah hikayat (HIB a1 dan b1) benda yang dicari oleh mereka bukan buwam
parandu, melainkan buluh perindu. Buluh (KBBI, 1991:154) ialah tanaman
berumpun, berakar serabut batangnya beruas-ruas, berongga, dan keras; bambu;
aur. Sementara itu, buluh perindu (KBBI, 1991:154) ialah 1) alat bunyi-bunyian
yang menghasilkan bunyi jika ditiup, terbuat dari bambu tipis; 2) buluh yang
dapat menimbulkan bunyi sedih dan sayu jika tertiup angin.
Perubahan
frasa buluh perindu menjadi buwam parandu sangat dimungkinkan terjadi,
karena huruf-huruf pada teks naskah memiliki karakter yang hampir mirip. Pada
kedua frasa tersebut terdapat kemiripan pada susunan hurufnya, yaitu ب و ل ح ف ر ن د (teks naskah
HIB a1 dan b1) dan ب
و م ف ر ن د (teks naskah
WS). Perbedaan hanya terdapat pada huruf و ل ح dan و م . Namun, jika mengacu pada tradisi tulisnya,
karakter huruf yang ditulis tangan (manual) tidak akan sama persis seperti
karakter huruf yang ditulis secara otomatis (masinal) yang akan sama persis
antara satu huruf dengan huruf yang lainnya. Kemudian, peneliti menduga bahwa
penyalin teks naskah WS mengira huruf ح (ha) merupakan huruf م (mim).
Sehingga, penulisan buluh menjadi buwam.
Selanjutnya,
perbedaan pada ketiga teks terletak pada saat mereka kembali ke negeri asal
mereka. Jika pada teks naskah WS yang menjadi raja ialah Sapri dan sang adik,
Indra Bangsawan menjadi seorang patih. Tetapi, pada teks HIB (a1 dan b1) yang
menjadi raja justru Indra Bangsawan, karena sang kakak (Syahperi/Banta
Syahpari) tidak menerimanya. Sebab ia sendiri telah menjadi raja di negeri
tempat ia singgah dulu dan mengalahkan garuda serta menyelamatkan seorang putri
(Ratna Sari/Keumala Sari). Kemudian, pada saat Indra Bangsawan menyelamatkan
putri Ratna Sari (teks naskah WS) ia langsung menyelamatkannya tanpa ada
firasat apapun pada putri tersebut. Tetapi, pada teks naskah HIB a1 putri
Kemala Sari merasa bahwa akan ada yang menolongnya, yaitu Indra Bangsawan. Pada
teks naskah WS, ketika Indra Bangsawan menyamar menjadi Si Utan ia terlebih
dahulu dipelihara oleh tukang warung. Sementara pada teks HIB a1, ia ditemukan
oleh raja Kabir dan diberikan kepada putri Kemala Sari. Sedangkan pada teks HIB
b1, Indra Bangsawan langsung menyamar menjadi Si Gamba Unan dan membunuh
Buraksa.
Kemudian,
pada teks naskah WS dan kedua teks HIB (a1 dan b1) terdapat persamaan nama
tokoh dan nama latar tempat. 1) persamaan nama tokoh terletak pada tokoh
utamanya, yaitu Sapri (WS) dengan Syahperi (HIB a1) dan Banta Syahpari (HIB
b1). Perbedaan terletak pada penambahan gelar pada teks HIB b1, yaitu “banta”.
Kata “banta” berasal dari bahasa Aceh yang artinya pangeran biasanya dipakai
sebagai gelar adik laki-laki keluarga hulubalang/kepala laskar, pemimpin
pasukan (KBBI, 1991:361). Terlepas dari nama depan/gelar yang terpasang pada
nama Syahpari pada teks naskah HIB b1, karakter huruf kata Syahpari, Syahperi,
dan Sapri sama. Ketiga kata memiliki keidentikan yang cukup signifikan, yaitu
pada huruf ش (syin) pada dua teks HIB dan س (sa) pada teks naskah WS. Hal tersebut bisa
terjadi sebab, pengucapan kedua huruf tersebut hampir sama. Selain itu, kuat
dugaan bahwa penyalin tidak melihat tiga titik yang terletak pada kata شَهْىفَرِي (syahpari).
Kemudian, pada teks naskah WS pun tidak ditemukan karakter huruf ش (syin).
Hal tersebut dimungkinkan terjadi, karena pada bahasa Sunda tidak dikenal fonem
/sy/. Sehingga, pemakaian nama tokoh Sapri lebih bisa diterima secara logika.
Selain itu, berdasarkan hasil perbandingan antara teks naskah WS dengan kedua
teks HIB (a1 dan b1), penulis beranggapan bahwa besar kemungkinan teks naskah
WS merupakan salinan dari teks naskah HIB a1. Hal tersebut diperkuat dengan
alur cerita yang hampir sama dan pemakaian nama tokoh yang tidak jauh berbeda.
Namun, untuk menjawab secara pasti anggapan peneliti, perlu diadakan penelitian
lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Selanjutnya,
kemiripan nama tokoh pada ketiga teks terjadi pada nama tokoh Indra Basu (WS)
dengan Indra Bungsu (HIB a1) dan Bungsu Indra (HIB b1). Kata yang memiliki
keidentikan adalah kata Basu dengan Bungsu. Besar kemungkinannya, penyalin teks
naskah WS tidak mengetahui bunyi /ng/ pada kata tersebut. Sehingga,
penulisannya menjadi Basu. Hal tersebut didasarkan pada makna kata “Basu”
dengan “Bungsu”. Bungsu memiliki makna yang terakhir atau yang termuda (KBBI,
1991:156) sementara kata Basu memiliki makna ‘anjing’ (Danadibrata, 2006:69).
Berdasarkan pada makna kedua kata tersebut, peneliti meyakini bahwa penyalin
tidak menyadari bunyi /ng/ pada kata Bungsu. Sehingga terjadi salah tafsir pada
kata tersebut, mengingat kata ‘busu’ tidak memiliki arti. Kemudian penyalin
mengubahnya menjadi “basu”.
Persamaan
berikutnya, ialah penamaan latar tempat. Pada ketiga teks, terdapat latar
tempat yang penamaan yang memiliki keidentikan yang cukup signifikan, yaitu
latar tempat Kobat (WS) dengan Kobat Syahrial (HIB a1) dan Syahri Kubat (HIB
b1). Pada ketiga nama latar tempat tersebut, kata yang memiliki keidentikan
ialah kata Kobat (WS dan HIB a1) dengan Kubat (HIB b1). Perbedaan hanya
terletak pada bunyi /o/ pada teks WS dan HIB a1 dengan /u/ pada teks HIB b1.
Tetapi, jika merujuk pada bentuk teks naskah yang asli, كَوْبَتْ (Kobat). Pada kata tersebut huruf و (wau) dimatikan (sukun) dengan penanda ( ﹿ ) sehingga jika dilafalkan menjadi fonem /o/. Perbedaan
hanya pada teks HIB b1, yaitu huruf و (wau) pada kata Kubat tidak mengalami penghilangan
bunyi (كُوْبَتْ ) sehingga dilafalkan Kubat bukan Kobat.
Peneliti meyakini, bahwa baik pada kata Kobat maupun Kubat - terlepas dari kata
yang melekat pada latar tempat Kubat/Kobat teks HIB a1 dan b1, terjadi
ketidaksengajaan penyalin. Namun, ketidaksengajaan tersebut tidak mengubah
makna dari lata tempat tersebut, yaitu kerajaan tempat Sapri dan Indra
Bangsawan berasal. Selain itu mengingat teks bukan bacaan suci, maka perubahan
tersebut dirasa sangat wajar terjadi. Karena, penyalin dapat dengan leluasa
mengubah segala aspek yang ada pada cerita untuk kepentingan tertentu.
Hasil
terakhir dari analisis terhadap teks naskah WS ialah edisi teks. Pada edisi
teks, terdapat beberapa kata yang dipertahankan sebagai bentuk usaha peneliti
untuk mempertahankan ciri khas bahasa lama pada teks. Selain itu, terdapat
beberapa penyesuaian kata yang merujuk pada ejaan bahasa Sunda dewasa ini.
Kemudian, pada edisi teks tersebut terdapat tata cara membaca yang ditandai
dengan; footnote (catatan kaki) untuk kategori kesalahan tulis
penggantian (emendasi), (....)/tanda kurung untuk kategori kesalahan
tulis penghilangan (omisi), [....]/kurung siku untuk kategori kesalahan
tulis penambahan (adisi), ( , )/koma untuk penanda perpindahan larik
dalam satu bait, ( . )/titik untuk penanda perpindahan bait dalam satu penamaan
Pupuh, {....}/kurung keriting untuk usulan kata pada teks yang tidak
terbaca, // garis miring dua untuk usulan penggantian larik. Usulan
penggantian dari peneliti ditempatkan sebelah kanan tanda dan larik yang
asli sebelah kiri tanda, ( ___ ) tanda untuk teks yang tidak terbaca. Untuk
edisi teks yang lengkap , tersaji pada skripsinya.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pada pemaparan mengenai pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa teks
naskah WS merupakan salinan dari salah satu teks HIB. Hipotesis tersebut
dilandasi pada dua fakta yang terdapat pada teks naskah WS; 1) terdapat
kesamaan alur cerita, baik pada teks naskah HIB a1 maupun HIB b1. Perbedaan
hanya terdapat pada akhir cerita, namun perbedaan tersebut tidak mengubah keseluruhan
alur cerita, dengan kata lain perbedaan tersebut tidak berdampak secara
langsung pada cerita yang disajikan, 2) terdapat persamaan nama tokoh dan latar
tempat. Dua fakta tersebut merupakan fakta pada teks naskah WS yang
keberadaannya sangat penting untuk menghasilkan hipotesis bahwa teks naskah WS
merupakan salinan dari salah satu teks HIB.
Selanjutnya,
pemenuhan kaidah penamaan pupuh pada teks naskah WS telah sesuai dengan
kaidah penamaan pupuh konvensional yang berlaku di masyarakat Sunda
dewasa ini. Adapun perbedaan kaidah penulisan yang berbeda pada teks naskah WS,
peneliti beranggapan bahwa hal tersebut merupakan suatu keunikan yang terdapat
pada teks naskah WS. Sehingga, peneliti merasa hal tersebut tidak perlu
mendapatkan koreksi. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk
kontribusi peneliti dalam memberikan suatu keberagaman pada kaidah penulisan pupuh.
Selain itu, hal tersebut bisa juga merupakan suatu kreativitas penyalin dalam
memenuhi unsur cerita dalam teks naskah WS.
DAFTAR PUSTAKA
Djamaris,Dr. H. Edward.2002.Metode
Penelitian Filologi. CV. Manasco:Jakarta.
Danadibrata, R.A.2006.Kamus Basa
Sunda.PT.Kiblat Buku Utama:Bandung.
Danasasmita,Ma’mur.2001.Wacana Bahasa
dan Sastra Sunda Lama. Bandung:STSI Press.
Kozok,Uli.2006.Kitab Undang-Undang
Tanjung Tanah:Naskah Melayu yang Tertua.Yayasan Obor Indonesia:Jakarta.
Moriyama,Mikihiro.2005.Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan
Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Soebadio, Haryati.1991.Lembaran
Sastra: Naskah dan Kita.Fakultas Sastra Universitas Indonesia:Depok.
Ratna, SU Prof.Dr. Nyoman Kutha.2010.Metodologi Penelitian:Kajian Budaya
dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, SU Prof.Dr. Nyoman Kutha.2010.Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Robson, S.O.1994.Prinsip-Prinsip
Filologi Indonesia. Jakarta : RUL.
Rochkyatmo, Amir.2010. Kulkul, Kenthongan dan Bhendek
:Sarana Komunikasi Tradisional yang Mencitrakan Kearifan Lokal.Jurnal
Jumantara Volume 1 No.2 Tahun 2010:PNRI Jakarta.
Rohayah Md.,
Lani.2007.Aksara: The Passage Of Malay Scripts (A Select Bibliography).Singapore:National
Library Board.
Saripin, Septiyadi Sobar Barokah.2013.Kritik
Teks dan Telaah Fungsi Naskah Wawacan Bidayatussalik. Skripsi Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia:Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas
Pendidikan Indonesia. (Tidak Diterbitkan)
Tim Penyusun Kamus.1991.Kamus Besar
Bahasa Indonesia: Edisi Kedua.Balai Pustaka:Jakarta.