Background

Etalase Tubuh



Pentas Teater Lakon

ETALASE TUBUH : RINTIHAN JIWA KESEPIAN

Oleh Arif M. Rasyid

Kamis pagi, tanggal 1/11/2012. Pagi itu, cuaca menunjukkan rasa ibanya kepada manusia dengan mengeluarkan cuaca yang sangat bersahabat. Meskipun cuaca menunjukkan rasa empatinya yang sangat dalam kepada manusia, sangat disayangkan jalanan Kota Bandung tidak selalu bersahabat dengan para pengendara kuda besi. Sehingga hal tersebut membuat sebagian orang sudah mengeluarkan uratnya pagi itu. Namun, ada hal yang cukup menarik terjadi di Gedung kesenian Rumentang Siang Jl. Baranang Siang I Kota Bandung. Gedung tersebut mendadak dipenuhi oleh beberapa orang beransel. Mereka bukan sekumpulan backpacker yang sedang mencari hotel untuk menginap, bukan pula sekumpulan pedagang kaki lima yang sedang mencari lapak, ataupun sekumpulan pengungsi yang sedang mencari tempat untuk berlindung. Mereka adalah mahasiswa yang sedang haus akan tontonan teater.
Mereka rela untuk datang pagi-pagi ke G.K Rumentang Siang hanya untuk menonton sebuah pertunjukkan teater yang ditampilkan oleh kelompok teater Lakon UPI Bandung. Kelompok teater ini merupakan kelompok teater yang sudah tidak diragukan lagi eksistensinya di dunia pertunjukkan seni peran, mereka telah menelurkan karya yang tidak sedikit. Karya-karya seni pertunjukkan teater Lakon tidak hanya mengangkat karya-karya yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan besar saja, melainkan teater Lakon membuat sendiri naskah-naskah drama tersebut melalui sutradara mereka ataupun anggota teater Lakon yang lainnya, dan teater Lakon ini sudah sering mendapatkan berbagai penghargaan baik ditingkat propinsi maupun ditingkat nasional. Teater Lakon adalah sebuah unit kegiatan mahasiswa yang ada di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Di kampung halamannya(UPI Bandung), teater Lakon berkembang dengan pesat, hal tersebut didorong oleh kredibilitas teater Lakon yang sudah tidak diragukan lagi. Salahsatu hal yang membuat teater Lakon ini berkembang pesat adalah program tahunan teater Lakon yang harus dilaksanakan bagi setiap anggota baru yang masuk ke teater Lakon , yaitu resital. Teater Lakon biasanya menguji kemampuan berakting setiap anggota barunya dengan resital. Resital tersebut menjadi bahan pertimbangan, apakah anggota ini pantas masuk teater Lakon atau tidak ? apakah kemampuan aktingnya tinggal dikembangkan atau perlu pelatihan yang lebih intens lagi ? setelah resital tersebut digelar biasanya selalu diadakan evaluasi yang membangun bagi setiap anggota baru teater Lakon . Berdasarkan program tahunan mereka yang sering mengadakan resital, maka tidaklah mengherankan jika teater Lakon adalah teater yang cukup berprestasi di Jawa Barat. Selain program tahunan dalam menyelenggarakan resital bagi anggota baru, antusias mahasiswa dalam mendalami dunia akting pun menjadi salahsatu penyebab pesatnya perkembangan teater Lakon , sehingga kelompok teater Lakon dari tahun ke tahun peminatnya semakin banyak. Biasanya drama yang ditampilkan adalah drama dengan judul yang membuat orang penasaran. Salahsatu drama yang ditampilkan adalah Etalase Tubuh. Drama tersebut ditampilkan pada hari Kamis, 1/11/2012.
Pada hari Kamis tersebut, teater Lakon mementaskan drama yang berjudul “Etalase Tubuh” karya sutradara Sahlan Bahuy dan dipentaskan pada pagi hari jam sepuluh. Drama “Etalase Tubuh” mengisahkan tentang seorang ayah yang menginginkan anaknya untuk tampil sesempurna mungkin demi meraih kebahagiaan dunia dan meninggalkan segala sesuatu yang bersangkutan dengan tuhan dan agama. Drama Etalase Tubuh diperankan oleh enam peran utama, yaitu Sura (Ritaniar Qonakish) sebagai pemeran utama, Ayah Sura (Rangga Rahadian Diaguna), Ibu Sura, Badut 1 (Rendra Wicaksono), Badut 2 (Kenny), dan Gelandangan (Rangga Rahadian Diaguna). Drama ini ditampilkan dengan apik oleh seluruh aktor dan aktris yang ada di bawah naungan teater Lakon. Akting semua aktor dan aktris sangat mumpuni, mereka mampu memerankan peran yang diberikan oleh sutradara. Hal tersebut dapat terlihat pada antusiasme penonton yang tidak merasa bosan ketika menonton pentas teater Lakon.
Meskipun akting mereka sangat mumpuni, ada beberapa kekurangan yang terjadi pada pementasan mereka. Kekurangannya tidaklah besar, melainkan kekurangan yang remeh temeh yang biasa terjadi disetiap pementasan. Diantaranya, blocking dari salahsatu pemeran pendukung (Ferdinand Wuysang) tidak selalu pada posisi yang mudah dilihat oleh penonton, yaitu pada saat pemeran utama (Sura/Ritaniar Qonakish) sedang berbelanja dipusat perbelanjaan, salahsatu pemain terhalang oleh pemain yang didepannya dan pemain tersebut tidak berusaha memperbaiki posisinya agar terlihat apik, melainkan ia tetap asyik dengan peran yang ia mainkan. Sehingga, para pemain yang ada dipanggung terlihat menumpuk dibagian selatan, dan itu sangat tidak indah ketika dilihat dari kursi penonton. Seharusnya, pemain tersebut langsung memperbaiki posisinya agar view para pemain yang ada di panggung terlihat indah. Disalahsatu adegan, yaitu pada adegan pemilihan wanita dengan latar pusat perbelanjaan, vokal salahsatu pemain sempat tidak terdengar jelas dari kursi penonton (khususnya oleh saya pribadi).
Dari semua kekurangan yang cukup kecil tersebut, ada beberapa kekurangan kecil yang saya kira kekurangan kecil tersebut bisa berakibat fatal, yaitu pemakaian tempat tidur beroda yang hampir membuat pemeran utama (Sura) hampir jatuh ke bawah panggung. Adegan saat pemain utama (Sura) diruang tidur, penggunaa tempat tidur yang beroda (menurut saya pribadi) tidaklah cocok. Karena, kontur panggung di G.K Rumentang Siang tidaklah rata pada bagian selatan. Meskipun ide tersebut brilian, karena memudahkan pembawa set untuk membawa tempat tidur tersebut ke atas panggung. Tetapi, ide brilian tersebut tidak dibarengi dengan kesigapan para pembawa set. Mereka cenderung hanya membawa lalu menyimpannya di atas panggung tanpa memerhatikan aspek kontur panggung yang sedikit miring dibagian selatan. Alhasil pada saat pemeran utama (Sura) beradegan tidur di atasnya, tempat tidur tersebut hampir jatuh ke bawah panggung. Tapi, kesigapan pemeran utama (sura) sangat sigap dengan langsung berimprovisasi sehingga ia tidak jatuh ke bawah panggung.
Selain pemakaian tempat tidur beroda yang kurang tepat, pemakaian keranjang belanja  beroda pun dirasa tidak tepat. Karena, keranjang beroda tersebut beberapa kali terlihat akan jatuh ke bawah panggung. Pada adegan ketika berbelanja di pusat perbelanjaan, pemeran ayah sangat sibuk dengan keranjang beroda tersebut. Pemeran ayah secara terus-menerus menarik keranjang tersebut. Karena ketika akan didiamkan, keranjang tersebut meluncur dan hampir saja jatuh ke bawah panggung. Tempat tidur yang hampir jatuh tidak akan terjadi dan pemeran ayah tidak sibuk memperbaiki keranjang yang selalu hampir jatuh ke bawah panggung, jika kesigapan para pembawa set sangat siap dan memperhatikan detail panggung dengan seksama. Kekurangan yang sangat kentara adalah kesigapan pembawa set. Mereka tidak sigap, terutama pada saat adegan pemeran utama (Sura) ditempat tidur tersebut. Saya yakin mereka tahu kontur panggung yang sedikit miring dibagian selatan, tetapi mereka tidak sigap mengunci roda tersebut dan pada beberapa adegan pembawa set terlalu terburu-buru sehingga set tersebut kesannya tidak rapi. Apa yang mereka pikirkan sebenarnya ? apa mereka gugup ? atau ada hal lain yang membuat kesigapan mereka berkurang. Ini adalah hal kecil tetapi bisa saja menjadi besar. Mereka bisa saja rileks sedikit agar pemasangan set tersebut rapi.
Kesigapan pembawa set akhirnya diketahui oleh pemeran ibu. Hal itu dapat terlihat ketika pemeran ibu mengunci roda tersebut dan sepertinya keberuntungan sedang ada dipihak teater Lakon, karena tempat tidur itu tidak jatuh ke bawah panggung. Jika kejadian tersebut terjadi, apa kata juri nantinya, harapan banyak orang tentunya sudah pasti diketahui yaitu kesigapan mereka harus diperbaiki dipementasan berikutnya. Selain kesigapan para pembawa set yang tidak sigap, pemakaian alat musik akustik dan elektrik (terutama pada alat musik gitar) tidak seimbang pengaturan volume suaranya. Hal tersebut dapat terdengar pada adegan ketika pemeran ayah dan pemeran utama (Sura) makan malam disebuah restoran. Alat musik akustik dengan alat musik elektrik terdengar balapan, pengaturan suaranya tidak seimbang, sehingga menghasilkan suara yang tumpang tindih. Tapi, tidak hanya itu saja melainkan merembet ke vokal para pemain yang ada di atas panggung pun ikut tersamarkan oleh balapan suara alat musik tersebut.
Seharusnya, pengaturan volume suara alat musik diperhatikan dengan seksama, agar tidak terjadi tumpang tindih semacam itu. Selain itu, alat musik akustik seharusnya menjadi pengimbang alat musik elektrik, mungkin pengaturan volume suaranya bisa 60/30 atau 70/20, yang terpenting alat musik akustik tidak terlalu dominan suaranya atau tidak sejajar dengan alat musik elektrik. Jika masih ingin sejajar, alat musik akustik tadi haruslah memakai efek muted guitar (efek suara gitar yang sedikit halus namun jika disandingkan dengan alat musik elektrik akan terjadi keseimbangan) efek ini tidak akan terdengar balapan dengan gitar elektrik, karena efek muted guitar dapat menjadi semacam pengimbang. Jika tidak mengimbangi alat musik elektrik, paling tidak seimbangkan volume suaranya. Karena, pengaturan volume suara sangat penting agar musik terdengar harmonis. Selain agar terdengar harmonis, musik bisa saja menjadi sebuah pendukung yang sangat kuat untuk naskah drama tersebut. Musik pun bisa menciptakan berbagai suasana, sehingga pengaturan musik sangatlah penting dan tidak boleh dianggap remeh.
Namun, segala kekurangan tersebut dapat teratasi oleh semua pemain yang memainkan drama tersebut. Menurut saya, naskah drama ini adalah naskah drama yang cukup berat untuk dimainkan. Beberapa adegan memiliki makna yang sangat kuat dan erat kaitannya dengan kehidupan. Salahsatu adegan yang dapat membuat air mata saya berlari keluar adalah ketika kedua orang tua Sura selesai bertengkar hebat, Sura mengeluhkan keadaannya yang tidak kunjung bahagia. Di dalam adegan tersebut, tersirat sebuah makna yang mendalam dan sangat dekat dengan kehidupan manusia. Selain adegan ketika Sura mengeluhkan keadaannya, adegan ketika Sura berkata “Ibu, Ibu, apakah aku akan bahagia seperti Dewi Cahyawening ?” merupakan adegan yang sangat sering terjadi pada kehidupan kita, ketika kita memiliki sebuah ambisi untuk mendapatkan kebahagiaan demi anak kita namun dengan menghalalkan segala cara.
Adegan demi adegan sangatlah menarik untuk dikaji, karena di dalam pementasan drama ini terdapat simbol-simbol mengenai kehidupan yang sangat dekat dengan kehidupan kita, bisa dikatakan drama ini sebagai etalase kehidupan kita. Ada salahsatu pemeran yang saya sangat kagumi, yaitu pemeran ayah sekaligus gembel. Rangga Rahadian Diaguna. Ia adalah aktor yang sangat multi talenta menurut saya. Ia dapat memainkan peran ganda dalam sebuah pementasan ! Bagi saya yang tidak bisa berakting, hal itu sungguh luar biasa. Pada awal-awal adegan, ia berperan sebagai ayah yang antagonis dengan vokal yang serak-serak becek, sangat khas sekali dengan peran-peran antagonis. Memaksakan kehendaknya kepada anak yang lugu dan tidak tahu apa-apa. Lalu ia seolah-olah menjadikan anaknya boneka yang bisa dimain-mainkan. Tetapi, pada pertengahan pementasan ia (Rangga Rahadian D) tiba-tiba berubah menjadi sosok yang heroik dengan perintah untuk dekat dengan agama, tuhan dan semacamnya dengan vokal yang menyejukkan. Jika saya punya delapan puluh jempol, akan saya acungkan jempol-jempol tersebut untuknya. Tentunya, hasil yang sempurna tersebut tidak akan didapat tanpa latihan dan pengalaman di dunia teater.
Selain Rangga yang dapat berperan sebagai ayah yang antagonis dan gelandangan yang heroik, pemeran badut 1 dan badut 2 yang diperankan oleh Rendra Wicaksono dan Kenny pun aktingnya sungguh luar biasa. Mereka mampu menghayati perannya dengan serius. Sehingga, mereka berdua tampak seperti adik dan kakak yang selalu seiya sekata. Alhasil, konflik pada drama ini sangat hidup dan tidak membosankan atau menjengkelkan, tetapi konflik pada drama ini menghasilkan sesuatu yang beda daripada yang lain. Sehingga, pemeran badut-badut tersebut haruslah orang-orang yang pandai memandang situasi konflik berbeda dari kebanyakan orang, dan penetapan mereka berdua (Rendra dan Kenny) sangatlah tepat.
Pementasan tidak akan ada yang bisa sempurna, walaupun yang mementaskan suatu drama adalah kelompok teater sehebat teater Koma atau yang lainnya. Pasti ada sebuah kekurangan dan kelebihan, namun kekurangan dan kelebihan tersebut bisa menjadi cambuk bagi teater tersebut untuk berbuat lebih ketika mementaskan sebuah drama dilain panggung. Secara garis besar, pementasan Teater Lakon kali ini sungguh menarik sama seperti pementasan-pementasan mereka yang lainnya. Seperti biasa mereka selalu totalitas dalam mementaskan sebuah karya. Berlatarkan bangku-bangku merah nan sederhana, Teater Lakon mampu menyihir puluhan penonton untuk ikut larut dalam pementasannya. Bahkan sesekali penonton berdecak kagum terhadap akting para aktor dan aktrisnya yang memukau. Saya rasa jika Teater Lakon terus pentas dengan totalitas yang seperti ini, mereka memang layak disandingkan dengan kelompok-kelompok teater masyhur lainnya. Maju terus perteateran Indonesia.

Bandung, Nopember 2012

Categories: Share

Leave a Reply